Bagaimana Radio dan Siaran Televisi
Mengubah Pola pikir Keluarga?
Kita memasuki era
globalisasi, dimana dengan terbukanya perdagangan bebas, banyak berdampak
positif bagi manusia. Salah satunya adalah bahwa terjalinnya komunikasi antar
personal secara intens walau berada dalam jarak yang berjauhan. Dengan kata
lain bahwa keberadaan media komunikasi yang canggih dapat memperpendek jarak
antar benua sekalipun. Keberadaan media televisi dan internet banyak memberikan
input bagi penggunanya menyangkut segala hal yang terjadi di dunia ini dalam
sekejap mata.
Siapa yang tidak kenal dengan benda yang satu ini ? Ya,
sebuah kotak ajaib bernama televisi. Kotak ajaib ini sudah mampu membius
anak-anak hingga orang dewasa. Televisi bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan
primer dalam rumah tangga belakangan ini, hampir sama kedudukannya dengan
sembako. Jika sehari saja tidak menonton acara televisi, seakan ada yang
kurang. Televisi sudah menjadi candu yang adiktif bagi kebanyakan orang yang
hidup di jaman millennium. Sejak ditemukan pertama kali pada sekitar tahun
1920-an oleh John Logie Baird, televisi seakan menjadi suatu bentuk hiburan
baru yang dapat menyambangi siapapun di rumah. Murah, ekonomis, dan instan.
Media cetak seperti buku, koran, majalah dan sebagainya menjadi tersingkirkan
dengan adanya televisi. Bahkan radio yang menjadi primadona di jaman dahulu
kala, harus rela digeser tempatnya di ruang keluarga oleh televisi. Di
tengah kesibukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari,
televisi seakan menjadi suatu jawaban bagi manusia untuk mendapatkan kemudahan
akses informasi dan hiburan. Manusia jaman sekarang seakan sudah tak punya
waktu lagi untuk sekedar membaca buku atau majalah karena tuntutan jaman sekarang
yang mengharuskan manusia harus bertindak cepat dan instan jika tidak ingin
digilas oleh kejamnya jaman. Dan televisi-pun menjadi jawaban yang paling logis
dalam menjawab tuntutan tersebut. Tetapi, dibalik itu semua, sadarkah
bahwa saat ini umat manusia sedang dipecundangi oleh sebuah kotak ajaib bernama
televisi ?
Saya masih teringat masa kecil dulu saat ibu dan guru TK saya
begitu piawai dalam menceritakan dongeng-dongeng yang penuh pelajaran dan
filosofi tentang kehidupan nan tinggi. Begitu tersihirnya anak-anak di jaman
itu dengan kekuatan dongeng yang terucap secara indah serta penuh kebajikan.
Bahkan bisa dikatakan sangat inspiratif menurut pendapat saya. Berkumpul
bersama teman-teman sebaya di sebuah taman bacaan atau rental buku bacaan sambil
asyik membaca buku, komik, atau novel kesukaan adalah suatu kegiatan yang amat
menyenangkan dan indah saat itu. Namun, apa yang terjadi dengan anak-anak jaman
sekarang sungguh membuat saya miris. Anak-anak tak lagi menyukai dongeng,
tetapi malah mengidolakan tokoh kartun yang ada di televisi. Anak-anak juga tak
lagi memenuhi taman-taman bacaan atau perpustakaan, melainkan sibuk di rental
game atau menonton film kesukaannya di televisi. Jarang sekali saya lihat
anak-anak menjadi kutu buku di jaman sekarang, yang paling banyak adalah
anak-anak kutu internet, kutu televisi, kutu handphone, dan kutu game. Memang
sebegitu powerfull-nya sebuah kotak ajaib bernama televisi ini, hingga bisa
mengubah pola pikir dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, hanya untuk mendiamkan
seorang anak yang menangis, televisi-lah yang menjadi pengalih perhatian,
seakan orang tua sudah tak sanggup lagi membujuk anaknya yang sedang merajuk.
Tetapi, apakah kita rela jika anak kita terus menerus “diasuh” oleh benda yang
bernama televisi ?
Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan, baik di dalam
maupun di luar negeri tentang dampak menonton televisi. Sebut saja obesitas,
meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, hingga penyakit kardiovaskular
lainnya akibat terlalu lama menonton televisi. Selain itu, dari segi sosial dan
kepribadian, televisi juga cenderung membentuk seseorang menjadi bersifat
asosial dan cenderung temperamental Namun, ada juga dampak positif
televisi seperti misalnya melatih kemampuan berbahasa bagi anak. Sebenarnya
televisi bagai mata pedang yang kedua ujungnya sama tajam, tergantung bagaimana
cara kita memanfaatkannya. Televisi dapat menjadi suatu media pembelajaran yang
bagus bagi siapa saja, asal program atau tayangan yang disajikan mengandung
nilai-nilai pengetahuan, penanaman budi pekerti yang baik, hingga pembentukan
pola pikir ke arah yang lebih baik dan positif. Sebaliknya, televisi dapat pula
berdampak negatif jika tayangan atau program yang ditayangkan sarat dengan
kekekerasan/anarkisme, penyalahgunaan obat terlarang, hingga pergaulan bebas.
Namun, program televisi yang mengedepankan nilai-nilai positif sangat jarang
saya temui di televisi domestik Indonesia. Acara-acara televisi di Indonesia
cenderung tidak mendidik dan hanya mengeksplorasi budaya yang sifatnya instan
serta hedonis. Sebagai contoh adalah tayangan sinetron dan reality show yang
makin menjamur dan hampir ada pada setiap stasiun televisi di negeri kita ini.
Demi mengejar sebuah rating yang tinggi atas nama komersialisme,
tayangan-tayangan tak mendidik ini malah ditempatkan di prime time
alias menjadi tayangan yang sering ditonton sekeluarga.
Kesimpulan :
Jadi Televisi dan Radio itu dapat
mengubah Pola pikir keluarga, terutama sekali adalah anak-anak. Jika salah satu
stasiun TV menayangkan siaran-siaran yang dapat merusak Moral maka anak-anak
tersebut dengan sendirinya juga akan mengikuti gaya pola piker yang ditayangkan
di televise tersebut. Sungguh suatu kondisi yang tak layak bagi perkembangan
mental dan intelektual para generasi muda kita sekarang, apabila terus menerus
dicekoki oleh televisi dengan tayangan-tayangan sampah semacam sinetron maupun reality
show. Yang ditakutkan adalah di masa depan, para generasi muda ini
cenderung berpikir secara instan untuk mencapai sesuatu, bahkan bila perlu
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, seperti layaknya yang
tergambar di sinetron maupun reality show. Jika hal ini berlanjut,
bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan runtuh akibat krisis moral
sebagai pengaruh dari tayangan televisi yang tak mendidik. Entah sampai kapan
kondisi ini akan terus berlanjut dan semakin merusak kreativitas serta pola
pikir positif anak-anak jaman sekarang. Saya hanya bisa berbaik sangka pada
seluruh raja televisi domestik di Indonesia agar dapat lebih baik dalam
memberikan tayangan yang patut dinikmati oleh masyarakat Indonesia, supaya
negara kita lebih maju akibat pengaruh tontonan yang baik dari sebuah kotak
ajaib bernama televisi.
DAFTAR PUSTAKA
Sinetron Remaja Bodohi Masyarakat, Edisi 81/Tahun VIII-Oktober 2007.
Dick Hartoko, Tantangan Kemanusiaan
Universal, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992.
VIDEO ABG AMOY SANGE BUGIL, LANGSUNG AJA GAN KLIK LINK INI UNTUK LIHAT VIDEONYA
BalasHapusHttps://needasia.com